Ranggonseni.com, - Dilansir dari kanal Youtube RSTV pada Jumat (19/1/2024) oleh Lebe Karyoto, sekaul kanda Ki Rahmat adalah seorang kerabat Keraton Cirebon yang keluar dari istana mencari guru agama.
Dalam perjalanannya Ki Rahmat bertemu dengan Syekh Gagang Aking yang sedang berdakwah di wilayah pesisir utara Dermayu. Setelahnya ia mengutarakan niatnya untuk menjadi murid beliau. Menurut Ki Rahmat beliaulah yang selama ini dicari, yakni seorang guru agama yang linuwih.
Bertahun-tahun Ki Rahmat menemani gurunya dan telaten belajar agama kepadanya. Suatu waktu sang guru memberi tugas untuk membabad sebuah hutan, Alas Gebang namanya. Mereka pun berpisah untuk sementara.
Tak lama kemudian, Ki Rahmat menemukan alas yang dimaksud oleh gurunya. Dengan penuh semangat Ki Rahmat membabadnya. Kemudian setelah dirasa cukup ia membangun pondok, pesanggarahan untuk tempat tinggalnya.
Bertahun-tahun Ki Rahmat menemani gurunya dan telaten belajar agama kepadanya. Suatu waktu sang guru memberi tugas untuk membabad sebuah hutan, Alas Gebang namanya. Mereka pun berpisah untuk sementara.
Tak lama kemudian, Ki Rahmat menemukan alas yang dimaksud oleh gurunya. Dengan penuh semangat Ki Rahmat membabadnya. Kemudian setelah dirasa cukup ia membangun pondok, pesanggarahan untuk tempat tinggalnya.
Alas Gebang kini mulai ramai, orang-orang datang silih berganti untuk berguru ilmu agama, selebihnya bahkan ada yang bermukim menjadi warga padukuhan baru tersebut.
Ilmu agama yang diperoleh dari Syekh Gagang Aking kemudian diajarkan kepada murid dan masyarakat. Atas jasanya tersebut, Ki Rahmat dijuluki dengan sebutan Ki Abdul. Sedang oleh Ki Abdul, padukuhan itu ia beri nama Pucuksawit.
Pada saat yang bersamaan Kerajaan Cirebon porak poranda oleh politik adu domba VOC. Hal ini membuat kerabatnya di istana datang menemui Ki Abdul di Padukuhan Pucuksawit dan memilih menetap di situ.
Kedatangan priagung dari keraton, diikuti pula oleh hulubalangnya. Kedatangan penduduk baru yang bertumpuk-tumpuk, hingga kemudian desa tersebut lebih terkenal dengan sebutan Tinumpuk.
Diceritakan riwayat lain juga bahwa asal usul kata tinumpuk itu berawal dari kegelisahan Ki Rahmat dengan tidak adanya sumber air yang bakal digunakan .
Ilmu agama yang diperoleh dari Syekh Gagang Aking kemudian diajarkan kepada murid dan masyarakat. Atas jasanya tersebut, Ki Rahmat dijuluki dengan sebutan Ki Abdul. Sedang oleh Ki Abdul, padukuhan itu ia beri nama Pucuksawit.
Pada saat yang bersamaan Kerajaan Cirebon porak poranda oleh politik adu domba VOC. Hal ini membuat kerabatnya di istana datang menemui Ki Abdul di Padukuhan Pucuksawit dan memilih menetap di situ.
Kedatangan priagung dari keraton, diikuti pula oleh hulubalangnya. Kedatangan penduduk baru yang bertumpuk-tumpuk, hingga kemudian desa tersebut lebih terkenal dengan sebutan Tinumpuk.
Diceritakan riwayat lain juga bahwa asal usul kata tinumpuk itu berawal dari kegelisahan Ki Rahmat dengan tidak adanya sumber air yang bakal digunakan .
Oleh masyarakat disitu untuk mengelola pesawahan maka Ki Abdul pun meminta tolong kepada gurunya yakni Syekh Gagang Aking untuk membantu mencarikan solusi.
Atas kebijaksanaan dari sang guru, ia mendapatkan sumber air yang datang dari desa sekitar yakni Lombang Pondoh, hingga tidak lagi kekurangan saking banyaknya air atau dalam bahasa sundanya cai yang menumpuk-numpuk hingga kemudian desa itu menjadi cai numpuk yang kemudian beralih dengan sebutan tinumpuk.
Atas kebijaksanaan dari sang guru, ia mendapatkan sumber air yang datang dari desa sekitar yakni Lombang Pondoh, hingga tidak lagi kekurangan saking banyaknya air atau dalam bahasa sundanya cai yang menumpuk-numpuk hingga kemudian desa itu menjadi cai numpuk yang kemudian beralih dengan sebutan tinumpuk.
Demikian riwayat asal-usul Desa Tinumpuk di Kecamatan Juntinyuat Indramayu. (Meneer Pangky/RS)***
Baca konten lainnya di Google News
Baca konten lainnya di Google News