Ranggonseni.com, - Dilansir dari kanal Youtube RSTV pada Jumat (22/12/2023) oleh Lebe Karyoto, sekaul kanda pada tahun 1498 Kesultanan Cirebon dalam rangka memperkuat perkembangan dakwah agama Islam di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, menyelenggarakan rapat dewan wali termasuk Sunan Kalijaga, yang intinya sepakat akan membangun masjid.
Sunan Gunung Jati bertitah bahwa wargi jati sebutan untuk warga negara Cirebon agar kiranya bahu membahu gotong royong untuk menyukseskan pembangunan masjid tersebut.
Bahan baku utama yang digunakan adalah kayu jati, sebagaimana arahan dari arsitektur masjid ini, yakni Raden Sepat dan Sunan Kalijaga. Para elang pinangeran langsung cangcut taliwanda segera mencari kayu jati.
Berdasarkan informasi telik sandi keraton bahwa di pinggiran Bengawan Cimanuk ada pohon jati tua yang besar. Diperkirakan pohon ini bisa memenuhi kebutuhan kayu yang akan digunakan untuk pembangunan masjid.
Berhubung pohon jati ini bukan sembarangan pohon jati. Dijaga oleh bangsa jim setan damyang merkayangan. Tidak ada orang yang berani menebangnya. Namun kabar tersebut tidak menyurutkan niat Sunan Gunung Jati.
Singkat cerita, berangkatlah para rombongan priagung Cirebon menuju ke pinggiran Bengawan Cimanuk yang dipimpin oleh Ki Jagantaka. Jim setan damyang merkayangan yang menghuni pohon itu namanya Nyi Purwa.
Sebelum sampai dilokasi para priagung dari Cirebon bermusyawarah di pinggiran bantaran bengawan untuk mendiskusikan bagaimana cara menebang dan membawa pohon jatinya.
Ki Jagantaka dengan jantan datang sendirian untuk berunding bersama Nyi Purwa. Setelah bertemu ia mengutarakan maksud dan tujuannya datang. Ia sedang mendapat tugas dari Sunan Gunung Jati untuk pembangunan masjid.
Namun Nyi Purwa menolak maksud tujuan Ki Jagantaka. Pohon jati itu bukan pohon jati sembarangan, banyak bangsa siluman yang tinggal dipohon tersebut. Duel diantara mereka pun tak terelakkan.
Mendengar Ki Jagantaka sedang bersiteru dengan Nyi Purwa maka para elang pinangeran pun tak tinggal diam, segera membantu. Demikian pula dengan Nyi Purwa, diundanglah para bangsa silem-siluman.
Pertarungan lumayan sengit, bangsa siluman semakin lama semakin unggul. Para elang pinangeran terdesak mundur. Ki Jagantaka memerintah prajurit untuk mundur. “Dudu musuh ayo rayi mundur”
Ki Jagantaka dan elang pinangeran kembali musyawarah di bantaran bengawan. Ada prajurit yang mengusulkan untuk segera melapor kepada Sunan Gunung Jati. Ki Jagantaka setuju, ia langsung bertolak ke Cirebon. Para elang pinangeran tetap bertahan di bantaran bengawan.
Sesampainya di keraton Cirebon Ki Jagantaka segera menemui Sunan Gunung Jati dan melaporkan kejadian itu. Sunan Gunung Jati memerintahkan agar meminta bantuan kepada Ki Gede Penganjang, salah seorang muridnya. Untuk berunding dengan Nyi Purwa.
Ki Jagantanka lalu berangkatlah ke Dermayu untuk menemui Ki Gede Penganjang. Setelah bertemu diutarakanlah maksud dan tujuan Ki Jagantaka datang. Ki Gede Penganjang mengiyakan dan akan membantu. Berangkatlah mereka berdua menemui para elang pinangeran.
Setelah istirahat, Ki Gede Penganjang segera menemui Nyi Purwa. Ketika yang datang sesepuh Dermayu, Nyi Purwa tidak bisa menolak permintaannya tersebut. Ia hanya mengajukan syarat satu. Berilah nama wilayah ini dengan namanya.
Permintaan Nyi Purwa pun disetujui oleh Ki Gede Penganjang, dibuatlah sebuah situs yang diberi nama “Makom Buyut Nyi Purwa”. Juga memberi nama tempat tumbuhnya pohon jati itu dengan sebutan “jati sauwit”. Lama kelamaan masyarakat menyebut desa tersebut dengan Jatisawit.
Tempat istirahat para elang pinangeran selama proses penebangan pohon jati di sekitar bantaran bengawan. Masyarakat menyebutnya dengan sebutan Bantaragung, yang artinya bantaran tempate wong agung.
Ketika berkemah di bantaran mereka melakukan masak-memasak. Hingga terlihatlah banyak kepulan asap. Nama desa ini kemudian dikenal sebagai Desa Kebulen, berasal dari kebul-kebul pinggir kalen.
Untuk menghormati Ki Gede Penganjang, sesepuh Dermayu, dibangun pula sebuah situs petilasan “Ki Penganjang”.
Atas petunjuk Sunan Gunung Jati proses penebangan dilakukan pada hari Senin tanggal 12 Bulan Mulud. Para bangsa siluman damyang merkayangan meminta agar mereka dipindahkan ke Rawa Bolang.
Setelah ditebang pohon jati menyisakan satu potongan, sekitar setengah meter. Hingga sekarang masih ada dan tersimpan rapi di situs Buyut Jatisawit. Demikian riwayat asal-usul Desa Kebulen. (Meneer Pangky/RS)***
Baca konten lainnya di Google News