Seorang seniman mendadak viral kemaren di Indramayu. Dikarenakan bahasa yang diucapkan itu. Yang katanya kasar itu, yang katanya bawa-bawa nama desa itu.
Sudah dibagikan ratusan kali di facebook itu. Pembicaraannya makin menghangat setelah salah satu lembaga somasi pembinaan seniman ke dinas terkait.
Tak tanggung-tanggung. Dibawa pula kuasa hukum lembaga yang menaungi seniman tersebut. Ditawarkanlah program seminar etika basa dan sastra Jawa Dermayu itu.
Yang kadisnya grogi itu, dicecar ratusan pertanyaan. Hingga menjawab asal, pematerinya harus dari Bandung itu, yang berbasa Sunda.
Bahasa yang dipakai dalang memang nggak angger. Kadang, perlu mengeluarkan kata kasar. Sesekali perlu mengucapkan kata mesum.
Hal ini pernah disinggung oleh Soekarba dan Embun dalam penelitiannya. Bahwa syair-syair dalam lirik lagu tarling biasanya mengumbar erotisme, sensualitas dan ke-vulgar-an.
Perlukah para dalang dan seniman ini dibina? Diajarin etika dan moral? Silakan jawab sendiri. Saya bukan orang moralist. Suka menilai ini baik itu buruk.
Apalagi soal bina-membina, tata-menata bahasa apa yang dipakai oleh dalang? Silakan be-rembug alim ulama, dinas terkait dan senimannya sendiri.
Saya sudah menonton video-nya. Saya menangkap ada pelacuran seni. Ada persaingan usaha antar grup seni.
Selain itu, saya pun menangkap ucapan "nantang" yang seharusnya tidak perlu diucapkan. Yang bawa-bawa nama desa itu. Apalagi lakon yang dipentaskan bukan sejarah legenda desa tersebut.
Adalah wajar, warga desa tersebut menantang balik. Yang sampe dikeroyoklah, yang sampe di-somasilah. Hingga dipermasalahkan oleh sebuah lembaga yang menaungi seniman itu.
Suguhan pagelaran macam begini lebih elok dipentaskan dalam arena sampyong. Sabet-sabetan bae! (Meneer Pangky/RS)***